Mandailing Natal ( BATAK MANDAILING )


Mandailing atau Mandahiling diperkirakan berasal dari kata Mandala dan Holing, yang berarti sebuah wilayah Kerajaan Kalinga. Kerajaan Kalingga adalah kerajaan Nusantara yang berdiri sebelum Kerajaan Sriwijaya, dengan raja terakhir Sri Paduka Maharaja Indrawarman yang mendirikan Kesultanan Dharmasraya setelah di-Islamkan oleh utusan Khalifah Utsman bin Affan pada abad ke-7 M. Sri Paduka Maharaja Indrawarman adalah putra dari Ratu Shima. Sri Paduka Maharaja Indrawarman kemudian dibunuh oleh Syailendra, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 itu juga. Pada abad ke-10, Kerajaan Chola dari wilayah Tamil, India Selatan, dengan rajanya Rajendra telah menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menduduki wilayah Mandailing, yang kemudian dikenal dengan nama Ang Chola (baca: Angkola). Ang adalah gelar kehormatan untuk Rajendra. Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk koloni mereka, yang terbentang dari Portibi hingga Pidoli.

Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja, antara lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan Hutasuhut. Bila orang Batak mengenal pelarangan kawin semarga, maka orang Mandailing tidaklah mengenal pelarangan kawin semarga. Hal ini lah yang menyebabkan marga orang Batak bertambah banyak, karena setiap ada kawin semarga, maka mereka membuat marga yang baru. Di lain pihak orang-orang dari etnis Mandailing apabila terjadi perkawinan semarga, maka mereka hanya berkewajiban melakukan upacara korban, berupa ayam, kambing atau kerbau, tergantung status sosial mereka di masyarakat, namun aturan adat itu sekarang tidak lagi dipenuhi, karena nilai-nilai status sosial masyarakat Mandailing sudah berubah, terutama di perantauan.Mandailing berasBangsa Mandailing Suku bangsa Mandailing atau kelompok etnis (ethnic group)




Mandailing adalah salah satu dari sekain ratus suku bangsa penduduk asli Indonesia. Dari zaman dahulu sampai sekarang suku bangsa tersebut turun-temurun mendiami wilayah etnisnya sendiri yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara. Menurut tradisinya orang Mandailing menamakan wilayah etnisnya itu Tano Rura Mandailing yang artinya ialah tanah lembah Mandailing. Tapi namanya yang populer sekarang ialah Mandailing, sama dengan nama suku bangsa yang mendiaminya. Berdasarkan tradisi masa lalu, wilayah etnis Mandailing terdiri dari dua bagian, yang masing-masing dinamakna Mandailiang Godang (Mandailing Besar), berada di bagian utara dan Mandailing Julu (Mandailing Hulu), berada di bagian selatan dan berbatasan dengan daerah Provinsi Sumatra Barat. Masyarakat Mandailing merupakan masyarakat agraris yang patrilineal. Sebagian besar warganya bertempat tinggal di daerah pendesaan dan hidup sebagai petani dengan mengolah sawah dan mengerjakan kebun karet, kopi, kulit manis, dan sebagainya.


Eksistensi masyarakat Mandailing sebagai suku bangsa atau kelompok etnis diperlihatkan dan dikukuhkan oleh kenyataan bahwa masyarakat Mandailing mempunyai kesatuan kebudayaan dan juga bahasa sendiri yang membuatnya berbeda atau dapat dibedakan dari suku bangsa yang lain. Dan juga karena warga masyarkat Mandailing menyadari adanya identitas dan kesatuan kebudayaan mereka sendiri yang membuat mereka (merasa) berbeda dari warga masyarakat yang lain.





Eksistensi masyarakat Mandailing sebagai suku bangsa atau kelompok etnis diperlihatkan dan dikukuhkan oleh kenyataan bahwa masyarakat Mandailing mempunyai kesatuan kebudayaan dan juga bahasa sendiri yang membuatnya berbeda atau dapat dibedakan dari suku bangsa yang lain. Dan juga karena warga masyarkat Mandailing menyadari adanya identitas dan kesatuan kebudayaan mereka sendiri yang membuat mereka (merasa) berbeda dari warga masyarakat yang lain.



Secara historis, eksistensi atau keberadaan suku bangsa Mandailing didukung oleh kenyataan disebut nama Mandailing dalam puluh atau syair ke-13 kitab Nagarakretagama yang ditulis oleh Prapanca sekitar tahun 1365 (abad ke-14). Dalam hal ini, Said (tanpa tahun:9) antara lain mengemukakan bahwa "teks sair ke-13 Negarakertagama tersebut dalam huruf Latin bahasa Kawi, dapat dikutip sebagian sebagai berikut:

"Lwir ning nuasa pranusa pramuka sakahawat kaoni ri Malayu/ ning Jambi mwang Palembang i Teba len Darmmacraya tumut/ Kandis, Kahwas Manangkabwa ri Siyak i Rekan Kampar mwang Pane/ Kampe Haru athawa Mandahiling i Tumihang Perlak mwang i Barat//"

Seperti terlihat pada teks tersebut ekspansi Majapahit ke Malaya (Sumatra) merata sejak Jambi, Palembang, Muara Tebo, Darmasraya, Haru, Mandahiling, jelasnya Mandailing. Meperhatikan bahwa nama Mandailing tidak ada duanya di Indonesia, maka yang dimaksud tidak lain dari Mandailing yang lokasinya di Tapanuli Selatan. Demikian dikemukan oleh Said



Bahasa, Aksara dan Sastra.

Suku bangsa Mandailing mempunyai bahasa dan aksara sendiri. Perkembangan peradaban masyarakat Mandailing di masa lalu telah menumbuhkan bahasa Mandailing menjadi satu bahasa yang barangkali boleh dikatakan unik. Karena bahasa Mandailing terdiri dari 5 ragam bahasa yang satu sama lain berlaian kata-katanya dan konteks penggunaannya.
Kelima ragama bahasa tersebut, dalam bahasa Mandailing masing-masing dinamakan:
 (1). Hata somal, yaitu ragam bahasa yang digunakan terutama dalam percakapan sehari-harian.

 (2). Hata andung, yaitu ragam bahasa yang digunakan pada waktu meratapi jenazah. Selain itu digunakan pula oleh pengantin perempuan untuk meratap pada waktu akan meninggalkan keluarganya karena dibawa ke rumah suaminya. Di samping itu digunakan pula untuk mengungkapkan (menuliskan) perasaan duka cita dan nasib malang yang menimpa diri seseorang. Hata andung juga digunakan secara bercampur dengan hata somal untuk pidato-pidato yang disampaikan dalam upacara adat. Sastra (lisan) Mandailing juga banyak menggunakan hata andung. Oleh karena itu ragam bahasa tersebut pantas digolongkan sebagai ragam bahasa sastra.

 (3). Hata teas dohot jampolak, yaitu rgama bahasa caci-maki.

(4). Hata sibaso, yaitu ragam bahasa yang khussu digunakan dalam pengobatan tradisional, misalnya untuk mantra dan jampi-jampi dan juga digunakan oleh Sibaso (shaman) pada waktu mengalami kesurupan (trance).

(5). Hata parkapur, yaitu ragam bahasa sirkumlokusi yang khusus digunakan oleh orang-orang berada di hutan.

Selain dari kelima ragam bahasa tersebut, pada dahulu masyarakat Mandailing memiliki pula ragam bahasa yang dinakan hata bulung-bulung (bahasa daun-daunan). Ragam bahasa tersebut dinamakan hata bulung-bulung karena yang digunakan sebagai kata-katanya ialah daun tumbuh-tumbuhan. Pada masa dahulu ragam bahasa daun-daunan itu, terutama digunakan oleh muda-mudi untuk mengungkapkan isi hati mereka ketika dilanda oleh percintaan.
Sayang sekali sebagian besar dari ragam bahasa yang sangat kaya itu sudah hampir punah sama sekali karena orang-orang Mandailing tidak membiasakan diri lagi untuk menggunakannya.
Selain mempunyai bahasa sendiri, suku bangsa Mandailing juga mempunyai aksara yang dinamakan surat tulak-tulak. Pada masa dahulu aksara tersebut terutama digunakan untuk menuliskan ilmu pengobatan, mantra-mantra, ilmu perbintangan (astronomi) dan andung-andung (ratapan) dalam kitab tradisional yang terbuat dari kulit kayu atau beberapa ruas bambu. Kitab tradisional tersebut dinamakan pustaha.

Suku bangsa Mandailing memiliki sastra tradisional terdiri dari prosa dan puisi. Kebanyakan di antaranya berupa sastra lisan, tapi ada juga yang tertulis, seperti andung-andung (ratapan) atau kisah penderitaan yang dituliskan pada ruas-ruas bambu. Dalam tradisi sastra Mandailing terdapat dua macam prosa yang paling populer, yang masing-masing dinamakan turi-turian dan hobarna. Turi-turian banyak berupa mite (mitos) dan legenda yang pada masa dahulu dipandang sebagai cerita-cerita biasa (tidak dipandang sakral). Pada masa dahulu turi-turian yang banyak menggunakan ragam bahasa sastra (hata andung) dituturkan oleh penutur cerita yang dinamakan parturi. Puisi dalam sastra Mandailing dinamakan ende-ende. Kebanyakan di antaranya berbentuk pantun atau syair. Sastra yang dimiliki oleh suku bangsa Mandailing tidak terbatas pada sastra yang bersifat tradisional saja, tapa ada juga yang dapat digolongkan sebagai sastra non-tradisional (modern), yaitu yang berupa novel yang banyak ditulis dan diterbitkan sampai tahun 1930-an.
Pada masa ini sastra Mandailing sudah mengalami pasang surut karena warga masyarakat Mandailing kebanyakan tidak lagi menggemarinya atau sudah sangat mengabaikannya.


Komentar