MANDAILING = BATAK
Analisis Mandailing Adalah Bagian Batak (Suku-Bangsa) Secara Luas Dalam Wacana Antropologi
Analisis Mandailing Adalah Bagian Batak (Suku-Bangsa) Secara Luas Dalam Wacana Antropologi
WILAYAH dalam pandangan antropologi dilihat sebagai suatu kesatuan daerah yang didiami oleh sebentuk komunitas atau suku, sehingga dalam suatu wilayah bisa terdapat hanya satu komunitas atau suku maupun satu wilayah yang didiami oleh beberapa komunitas atau suku.
Konsep wilayah dalam pandangan antropologi pertama kali dikemukakan oleh antropolog Amerika , M.J. Herskovits[2] Kemudian konsep wilayah kebudayaan dikenal dengan istilah culture area,
Antropolog G.P. Murdock menyusun suatu sistem terhadap daerah-daerah
kebudayaan di Afrika serta mengklasifikasikan daerah-daerah kebudayaan
tersebut melalui unsur perbedaan bahasa dan perbedaan sistem
kekerabatan.
Melalui konsep culture area
yang hendak didapatkan adalah untuk menarik satu garis merah yang
menjadi persamaan bagi penduduk suku-suku bangsa yang mendiami wilayah
tersebut.
Tulisan ini
ditujukan untuk turut memberikan jawaban atas satu pertanyaan yang
“menggelitik”, yaitu : Mandailing Tidak Sama Dengan Batak, Ditujukan
kepada sebagian orang yang beranggapan bahwa Mandailing tidak sama dengan Batak,
Sebelumnya definisi tentang suku Batak[3]
adalah terdiri dari enam sub-group, yaitu Toba, Simalungun, Karo,
Pakpak, Mandailing dan Angkola. Keenam sub-group tersebut terdistribusi
di sekeliling Danau Toba, kecuali Mandailing dan Angkola yang hidup
relatif jauh dari daerah Danau Toba; dekat ke perbatasan Sumatera Barat,
Di dalam kehidupan
sehari-hari banyak orang mengasosiasikan kata “Batak” dengan ‘orang
Batak Toba’. Sebaliknya grup yang lain lebih memilih menggunakan nama
sub-grupnya seperti Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing dan Angkola.
Alasan perbedaan agama
ANGGGAPAN bahwa
Mandailing bukan Batak didasarkan keadaan dilapangan bahwa pada umumnya
etnis Mandailing memiliki agama yang berbeda dengan etnis Batak, Dalam
hal ini agama Islam dan Kristen–baik Protestan maupun Katolik. Apabila
anggapan tersebut yang menjadi dasar anggapan maka telah terjadi
pengkerdilan terhadap proses berfikir secara kritis . Karena sebagaimana
diketahui, agama muncul setelah kebudayaan muncul dari suatu
masyarakat, dan diadopsi dalam kehidupan masyarakat tersebut,
Dalam kebudayaan
Mandailing maupun Batak secara keseluruhan, kedua agama tersebut muncul
dan dianut setelah mengalami proses yang lama, Konsep agama pada
dahulunya didasarkan pada dinamisme dan animisme.
Perkembangan
masyarakat Sipirok di Tapanuli Selatan diperkirakan baru muncul lebih
kurang sembilan abad setelah pengaruh Islam mulai berkembang di Barus
atau pantai barat Tapanuli Tengah[4].
Secara geografis Tapanuli Selatan merupakan basis daerah Mandailing dan
hal ini dipertegas dengan pernyataan bahwa sejak sekitar abad ke-16
pengaruh agama Islam belum masuk kedaerah Tapanuli Selatan[5]
Hal ini kemudian didukung dengan tulisan oleh Parlindungan[6]
yang menyatakan bahwa penyerbuan laskar Paderi dari Sumatera Barat ke
Sipirok terjadi sekitar tahun 1816. Sebelum laskar Paderi memasuki
kawasan Sipirok, mereka lebih dulu menaklukkan seluruh daerah
Mandailing, Angkola dan Padang Lawas.
Berdasarkan hal
itu dapat disimpulkan : daerah Mandailing Tapanuli Selatan telah ada
sebelum pengaruh Islam, karena sampai sekarang tidak ditemukan
bukti-bukti peninggalan sejarah yang menunjukkan adanya perkembangan
Islam yang meluas baik di Tapanuli Tengah maupun di Tapanuli Selatan
sejak abad ke-7[7],
Sedangkan agama Kristen masuk kedaerah Sumatera Utara dimulai dengan
masuknya para misionaris yang ikut dengan rombongan penjajah Belanda.
Salah satunya adalah Nomensen.
Dari apa yang telah dipaparkan, pupus sudah anggapan yang menyatakan bahwa Mandailing bukan Batak karena faktor agama.
Alasan perbedaan bahasa
HAL lain yang
menganggap bahwa Mandailing bukan Batak didasarkan karena Mandaling
memiliki perbedaan bahasa dengan bahasa Batak, Anggapan ini runtuh
dengan jawaban bahwa bahasa atau linguistik pada awalnya sama namun
karena dipengaruhi faktor lingkungan, kebiasaan dan hal lain maka
terjadi pergeseran dari bahasa semula. Namun pergeseran ini tidak
menimbulkan perbedaan yang berarti,
Sebagai bahan acuan adalah adanya perbandingan antara beberapa kosa kata bahasa Sipirok dan bahasa Sansekerta[8],
Dalam perbandingan tersebut kata “huta” yang dalam bahasa Sansekerta
“kota” yang memiliki arti sebagai kampong dan kosa kata ini juga
digunakan dalam masyarakat Batak, Kosa kata lainnya adalah “debata” yang
dalam bahasa Sansekerta “devta” memiliki arti dewata, dalam masyarakat
Batak dalam hal ini Toba menyatakan Tuhan atau yang memiliki Kuasa
dengan kata “debata”, Tuhan atau “debata” digunakan dalam “Somba Debata”
yang berarti sembah/sujud kepada Tuhan atau pencipta alam.
Faktor bahasa yang
menjadi pembeda antara Mandailing dan Batak juga bukanlah faktor yang
memiliki perbedaan signifikan antara Mandailing dan Batak.
Perbedaan-perbedaan
yang menjadi landasan anggapan bahwa Mandailing dan Batak hilang dengan
sendirinya apabila dikaji secara mendalam, Usaha-usaha pembedaan yang
mengarah pada pemisahan antara Mandailing dan Batak merupakan taktik
strategi bangsa penjajah (Belanda) untuk memecah persatuan dan keutuhan
Nusantara.
Sampai saat ini masih ada orang, kelompok yang mempertahankan anggapan bahwa Mandailing bukan bagian dari Batak secara luas.
Klasifikasi Van Vollenhoven dan Koentjaraningrat
DALAM suatu klasifikasi yang dilakukan Van Vollenhoven[9]
terhadap wilayah Indonesia yang mengklasifikasi berdasarkan dari aneka
warna suku-bangsa di Wilayah Indonesia biasanya masih berdasarkan sistem
lingkaran-lingkaran hukum adat, Dan pengklasifikasian ini, membagi
wilayah Indonesia kedalam 19 daerah, yaitu :
2. Gayo-Alas dan Batak 12. Ternate
2a. Nias dan Batu 13. Ambon Maluku
3. Minangkabau 13a. Kepulauan Baratdaya
3a. Mentawai 14. Irian
4. Sumatera Selatan 15. Timor
4a. Enggano 16. Bali dan Lombok
5. Melayu 17. Jawa Tengah dan Timur
6. Bangka dan Biliton 18. Surakarta dan Yogyakarta
7. Kalimantan 19. Jawa Barat
8a. Sangir-Talaud
9. Gorontalo
10. Toraja
klasifikasi yang dibuat oleh Van Vollenhoven ini kemudian diadopsi oleh Koentjaraningrat walaupun karya Van Vollenhoven ini masih terdapat keragu-raguan pada daerah Kalimantan, Sulawesi, Indonesia Timur dan Sumatera, Koentjaraningrat menyatakan, lokasi sesuatu suku-bangsa di Indonesia biasanya ada selisih antara berbagai pengarang bahkan untuk menyatakan batas-batas wilayah suku-bangsa Aceh ada enam orang pengarang yang memiliki perbedaan antara satu sama lain[10].
Koentjaraningrat
yang merupakan bapak antropologi Indonesia dalam bukunya “Pengantar
Antropologi 1, 1980) tidak menyinggung sama sekali tentang perbedaan
antara Mandailing dan Batak. Kalaupun ada hanyalah perbedaan batas-batas
wilayah suku-bangsa Aceh.
Batak itu satu, kenapa ingin pisah ?
Anggapan bahwa Mandailing bukan Batak merupakan tindakan “kekonyolan pemikiran” yang kemungkinan menyebabkan destruct knowledge,
Menurut hemat
penulis keinginan “anggota etnis Mandailing” untuk tidak menyamakan
Mandailing dengan Batak– karena Mandailing bukan bagian Batak, merupakan
strategi yang didasari rasa superior, primordialisme, dan emosi keagamaan berlebih.
Sejatinya seorang
antropolog dilarang memasukkan unsur-unsur superior, primordialisme dan
emosi keagamaan berlebih dalam menyikapi satu masalah, Mudah-mudahan
tulisan ini dapat membuka cakrawala pemikiran terhadap pandangan yang
ada.
Mandailing masuk
kedalam bagian Batak secara luas. Karena Batak secara luas merupakan
representasi suku-suku Batak, yang memiliki akar budaya dan wilayah yang
sama.
Kerugian tidak
timbul dari hanya sekedar peletakan Mandailing bagian dari Batak,
Pemikiran umum telah terdoktrin stereotipe Batak “kasar”, “kurang
beradab”. Namun, hal ini muncul dari pandangan orang-orang yang berada
diluar lingkaran kebudayaan Batak secara luas.
Kata akhir tulisan
ini untuk membuka diri terhadap proses perkembangan namun dengan
memperhitungkan aspek perkembangan tersebut, marilah kita bersatu dalam
Batak secara luas dan tidak mengkotak-kotakkan diri dalam pemikiran yang
sempit.
https://tobadreams.wordpress.com/2008/05/14/kajian-antropologi-orang-mandailing-adalah-etnis-batak/
Koentjaraningrat (1980). Pengantar Antropologi 1. Jakarta. Aksara Baru
Koentjaraningrat (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta. UI-Press
Lubis Pangaduan. Z dan Zulkifli Lubis (1998). Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok. Medan. Badan Pengkajian Pembangunan Sipirok dan USU Press
Purba Mauly (2005). Pluralitas Musik Etnik : Batak-Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun. Medan. Pusat Dokumentasi Dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nomensen
BACA JUGA:
OBYEK WISATA DI MANDAILING NATAL SUMATERA UTARA
kehadiran orang orang Mandailing diSumatera dan di tanah melayu
NB : Tulisan ini diutamakan untuk membuka cakrawala terhadap etnis Batak sebagai suatu kesatuan Holistik.
[1] Penulis adalah mahasiswa departemen Antropologi stambuk 2003 dan bagian dari etnis Mandailing secara luas
[2] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, 1980 : 299
[3] Mauly Purba, Pluralitas Musik Etnik ; Batak-Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun, 2005 : 50-51
[4] Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 30
[5] Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 31
[6] Dalam Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 31
[7] Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 31
[8] Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 28
[9] Dalam Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, 1980 : 315
[10] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, 1980 : 316- 318
Komentar
Posting Komentar