BERTANAM KOPI ARABIKA DI DESA PAGUR
PETANI SEJAHTERA LINGKUNGAN LESTARI.

Pada tahun 1833 Kolonial Belanda memasuki daerah Mandailing melalui Pelabuhan Natal, ekonomi kopi mulai sejak tahun 1835 Kolonial Belanda mendatangkan bibit kopi dari Jawa oleh perusahaan NHM milik Raja Willem 1 dan Melakukan pembibitan di Tano Bato, Panyabungan Selatan, Mandailing Natal tahun 1840. Melalui sistem Tanam Paksa, bibit kemudian di sebar ke daerah Mandailing seperti ke Pakantan, Mandailing Natal dan daerah Angkola. Tahun 1848 tercatat ada 2.800.000 batang kopi dengan produksi biji kopi sebanyak 9,3 ton. Hasil kopi dikumpulkan di gudang Belanda di Tano bato, kemudian dibawa ke pelabuhan Natal melalui jalan darat via Tapus, Lingga Bayu, Mandailing Natal. Dalam pengangkutan, Kolonial Belanda memamfaatkan orang pribumi dengan cara dipikul dari Tanobato ke Pelabuhan Natal yang memakan waktu 15 hari perjalanan pulang-pergi. Tahun 1886, jalur pengangkutan kopi dialihkan dari Pelabuhan Natal ke Pelabuhan Sibolga.
Pada era moderen sekarang ini Desa pagur saat ini menjadi salah satu pengahasil kopi arabika Mandailing terbesar di Kabupaten Mandailing Natal yaitu sektar 10 Ton/bulan (gabah kopi). Perkebunan kopi milik masyarakat Desa Pagur  yang tepatnya berada di Kecamatan Panyabungan Timur ini memiliki ketinggian yang cukup untuk ditanami kopi jenis arabika yaitu sekitar 900-1400 Mdpl (meter diatas permukaan Laut), kesuburan tanah yang juga sangat mendukung sehingga tanaman kopi tumbuh subur meskipun sebagian besarnya belum menggunakan pupuk kimia maupun organik. Peningkatan produksi juga  terus mengalami kenaikan setiap tahunnya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya  semangat petani yang sangat luar biasa dalam merawat kopi, juga tidak terlepas dari peran Pemerintah daerah Mandailing Natal melalui instansi terkait Dinas Kehutanan dan Perkebunan dalam membantu serta membina dan terus melakukan pendampingan kepada petani.




Perkebunan kopi milik masyarakat yang terletak di Aek Gorsing ini berjarak  10-17 Km dari desa Pagur memiliki akses transportasi yang sangat sulit, sehingga tidaklah aneh jika biaya pengangkutan kopi yang dikeluarkan jauh lebih tinggi dari Aek Gorsing ke Pagur dari pada biaya pengangkutan dari Pagur ke medan. Biaya pengangkutan yang beragam dari Rp.1500-3000/Kg tergantung jaraknya dianggap masih wajar mengingat parahnya kondisi jalan yang harus dilalui. Tentu perbaikan jalan akan sangat diharapkan oleh petani desa ini, selain dapat menekan biaya pengangkutan hal ini juga akan dapat membantu petani dalam memaksimalkan perawatan kopi yang kedepannya dapat meningkatakan produktivitas tanaman, serta perbaikan dalam proses pasca panen sehingga kulaitas dapat ditingkatkan lagi. Dengan akses yang mudah kelak petani juga diharapkan dapat menerapkan kebun kopi organik.
Produktivitas tanaman kopi saat ini masih tergolong rendah jika dibandingkan daerah penghasil kopi lainnya yang sudah sejak lama bertanam kopi seperti gayo atau dari negara lain seperti Brazil dan Vietnam. Petani kopi desa Pagur saat ini baru bisa menghasilkan sekitar 600-700 Kg/hektar/tahun (green bean/biji beras), masih sangat jauh tertinggal dari Brazil yang mencapai 2000 Kg/Hektar. Pengalaman serta pengetahuan petani tentang perawatan yang masih rendah dan sulitnya akses menuju kebun menjadi penyebab rendahnya produktivitas tanaman kopi di desa ini. Dibutuhkan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan petani yang berkelanjutan dari dinas terkait maupun pihak lainnya serta perbaikan akses jalan agar peningkatan yang lebih signifikan dapat segera tercapai.  
Budidaya tanaman kopi merupakan suatu kegiatan di sektor pertanian yang paling ramah lingkungan karena budidaya kopi dengan tanaman pelindung yang permanen pada satu sisi menjamin kelestarian lingkungan, termasuk konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS), dan di sisi lain memberikan manfaat ekonomi yang cukup tinggi. Hal ini sudah selayaknya mendapat perhatian khusus dari pemerintah maupun LSM pemerhati lingkungan, karena tanpa disadari oleh petani kopi itu sendiri mereka sudah terlibat dalam menjaga kelestarian lingkungan. Walaupun belum sepenuhnya petani kopi di Desa Pagur bisa menerapkan hal ini, keterlibatan pemerintah dan pihak terkait lainnya dalam pembinaan akan sangat membantu dalam upaya pelestarian lingkungan. Kegiatan yang terkadang menurut kita hanya hal-hal kecil terkadang dianggap sangat berharga bagi petani karena dengan semakin banyaknya pihak yang peduli akan dapat meningkatkan semangat petani kopi khususnya.
Petani kopi arabika desa Pagur saat ini masih belum tergolong sejahtera. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti yang disebutkan diatas diantaranya:
·         Produktivitas tanaman kopi yang masih rendah
·         Biaya pengangkutan yang sangat tinggi
·         Kualitas biji kopi yang belum maksimal
Peran semua stakeholder diharapkan dapat mengurai permasalahan yang dialami petani kopi di Mandailing Natal khususnya di desa Pagur saat ini. Dengan demikian kelak nama kopi Mandailing yang namanya sudah mendunia tersebut berjaya kembali dengan kopi yang berkualitas dan berasal dari tanah Mandailing tentunya. Sehingga kesadaran petani dalam menjaga kelestarian lingkungan dalam berkebun kopi  dampaknya akan bermanfaat bagi kita semua.
Mahfus Budiawan nasution sendiri adalah penggiat kopi di yang berasal dari pagur, namun kopinya telah melanglang buana ke negara Amerika dan Eropa. Menurut Mahfus Budiawan Nasution ( Penggiat Kopi asli Pagur ) Desa pagur yang saat ini memiliki penduduk sekitar 500 Kepala Keluarga  sebagian besarnya  bermata pencaharian sebagai  petani, dan sekitar 55% dari penduduknya sudah mulai bertanam kopi. Diperkirakan saat ini luas kebun kopi arabika didesa Pagur sudah mencapai 600 Ha termasuk yang belum panen.
Keberadaan lokasi perkebunan kopi desa pagur yang berada pada kawasan hutan sehingga daerah ini juga menghasilkan kopi luwak liar. Meskipun belum banyak, pemasaran kopi luwak yang sudah  merambah ke Jakarta serta Jogjakarta dan belakangan sudah mulai ke luar negri yaitu Hongkong diharapkan dapat menjadi nilai tambah bagi petani, sehingga hal ini juga berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem karena sebelumnya hewan luwak sering dianggap sebagai hama bagi tanaman kopi dan terkadang diburu oleh petani kopi itu sendiri.

Komentar