Langsung ke konten utama
Asal Usul Nama Mandailing
Kakawin
Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca merupakan salah satu
sumber yang penting bagi bangsa Indonesia, karena isinya menyangkut
berbagai hal berkenaan dengan kerajaan Mojopahit. Dan di dalam syair ke
13 kakawin tersebut dikatakan:
"Lwir
ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoni ri Malayu/ning Jambi mwang
Palembang karitang i Teba len Dharmacraya tumut/Kandis Kahwas
Manangkabwa ri Siyak i Rekan Kampar mwang i Pane/Kampe Harw athawe
Mandahiling i Tumihang Parlak mwang i Barat".
Syair
tersebut merupakan catatan yang dibuat oleh Mpu Prapanca tentang
ekspansi Mojopahit ke beberapa wilayah di luar pulau Jawa, di sekitar
tahun 1287 Caka (1365M).
Dengan terdapatnya nama Mandahiling
(Mandailing) dalam kakawin Negarakertagama itu, dapatlah diketahui
bahawa pada abad ke 14 Mandailing telah tersebut-sebut dalam catatan
sejarah di Indonesia. Dalam hubungan ini H. Mohammad Said mengatakan:
"Memperhatikan bahwa nama Mandailing tidak ada duanya di Indonesia, maka
yang dimaksudkan tidak lain dari Mandailing yang lokasinya di Tapanuli
Selatan" (H. Mohammad Said..: 6)
Karena
ekspansi yang dilakukan Mojopahit ke daerah Malayu, Jambi, Palembang,
Teba (Muara Tebo), Dharmacraya, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Panai,
Haru dan Mandailing terjadi di sekitar tahun 1365, atau sekitar
pertengahan abad ke 14, maka dapatlah diperkirakan bahwa sebelum
pertengahan abad ke 14 Mandailing tentu sudah ada. Kemungkinan sebelum
terjadinya ekspansi Mojopahit itu telah merupakan satu negeri atau
kerajaan yang penting sehingga banyak dikenal. Kalau tidak demikian
halnya, kemungkinan sekali Mojopahit tidak akan tertarik untuk
menjadikan Mandailing sebagai sasaran untuk perluasan daerahnya di luar
pulau Jawa. Sayang sekali tidak terdapat catatan tertulis mengenai
keadaan Mandailing di abad ke 14 itu.
Namun
demikian, pentingnya negeri atau barangkali kerajaan Mandailing di masa
itu, kemungkinan sekali ada hubungannya dengan keadaan negeri itu yang
kaya dengan mas. Sebab sejak zaman dahulu kala tanah Mandailing selalu
dihubung-hubungkan orang dengan mas, sehingga negeri tersebut dinamakan
"tano sere" (tanah mas) dalam crita-cerita lama.
Dalam
hubungan ini, dapat dikemukakan bahwa di daerah Mandailing Julu
(Kecamatan Kotanopan) sampai sekarang ditemukan tempat-tempat yang
bernama "gerabak ni Agom" seperti di sekitar Huta Na Godang. Nama yang
demikian itu diberikan kepada bekas tempat-tempat orang Agam
(Minangkabau) menambang mas di masa dahulu di Mandailing Julu. Di
samping itu, pada masa penjajahan Belanda di daerah Mandailing Julu,
yaitu dekat Muarasipongi, pernah dibuka sebuah tambang mas yang
diusahakan oleh orang Belanda. Malahan sampai sekarang, banyak penduduk
di daerah tersebut yang melakukan pendulangan mas di Sungai Batang
Gadis, sebagai mata pencarian tambahan.Kenyataan
yang demikian ini cukup menjadi bukti bahwa Mandailing yang disebut
"tano sere" memang kaya dengan mas. Oleh karena itulah barangkali maka
sejak beberapa abad yang lalu negeri Mandailing sudah banyak dikenal.
Sehingga akhirnya menarik perhatian Mojopahit untuk dijadikan sasaran
perluasan daerahnya di luar pulau Jawa seperti yang dicatat oleh Mpu
Prapanca dalam kakawin Negarakertagama.
Selain
di dalam kakawin Negarakertagama, nama Mandailing sudah disebut-sebut
pula di dalam Tonggo-Tonggo Si Boru Deak Parujar, "yang cukup padat
isinya sebagai kesusasteraan Toba-tua yang klasik, yang terdiri dari 10
pasal sebagai dasar/fundamendan/atau sumber dari falsafah kebudayaan
kemasyarakatan dan kerokhanian dari 'Dalihan Natolu' (Batara Sangti 1977
: 278)
Tonggo-tonggo tersebut berbunyi sebagai berikut:
"Baen
ma gondang ni Ompunta, Tuan Humara-Hiri, Si Humara Naboru, par-aji
tamba-tua, par-aji pulung-pulungan; sinonduk ni Ompunta Sibaso Nabolon,
na marsigantung ditali siubar, na meat di mombang boru".
"Sian
tano hondur, tano malambut, tano hulambu jati, sian tano padang bakkil
bandailing, tano siogung-ogung; parsirangan ni tano, pardomuan ni aek;
Sian i ma dalan laho tu ginjang, partiatan ni Ompunta: Debata Natolu
Suhu, Naopat Harajaon tu banua tonga on".
Disi ma parangin-anginan ni Ompunta 'Siboru Deakparujar', sideak uti-utian, sigodang ujar-ujaran:
1. Na manjadihon : ’Gana na so boi tolonan, bulan naso boi oseon’
2. Sian i ma mula ni : ’Dung-dang’
3. Mula ni : ’Sahala’
4. Mula ni : ’Harajaon’
5. Mula ni : ’Gantang tarajuan, Hatian pamonari’
6. Mula ni : ’Pungga si sada ihot’
7. Mula ni : ’Ninggala sibola tali’
8. Sian i ma mula ni : ’Boli ni boru muli dohot si namot ni anak
9. Mula ni : ’Goar ni bao na so boi dohonan’
10. Nunga disihataon i : ’Di ninggor ni ruma, dipagohan di pinggol ni a-
Debata’
Alih bahasa secara bebas dan terbatas ke bahasa Indonesia:
Tonggo-Tonggo Siboru DeakparujarPalulah
gendang dari Empu kita, Tuan Kumarakumari, Si Kumara perempuan, per-aji
tambah tua, per-aji ramu-aramuan; suami dari Empu Kita Sibaso Nabolon,
yang bergantung pada tali siubar, yang hinggap di mombang boru.
Dari
tanah lembah, tanah kelabu sejati, dari tanah bakil Mandailing, tanah
yang termasyhur, bagaikan suara yang merdu, perpisahan daripada tanah,
pertemuan daripada air: 'Dari situlah tangga jalan ke atas, perturunan
daripada Empu Kita: Debata Nan Tiga, Nan Tiga Segi, Nan Empat Kerajaan,
ke benua tengah ini'.
Di situlah bertamasya Empu kita Siboru Deakparujar, yang banyak cerdik, yang banyak akal:
1. Yang mengamanatkan : “Tidak boleh makan sumpah,
tidak boleh mengingkari ikrar”
2. Asal mula : “Kepercayaan”
3. Asal mula : “Sahala”
4. Asal mula : “Kerajaan”
5. Asal mula : “Gantang pengukuran, dacing
kebenaran”
6. Asal mula : “Batu asahan satu seikat”
7. Asal mula : “Bajak bagai pembelah tali”
8. Di situlah asal mula : “Penerimaan beli atas
perkahwinan anak perempuan
dan pembayaran Jujuran bagi
bagi perkahwinan anak lelaki”
9. Asal mula : “Nama besan yang tak boleh
disebut"
10. Hari ini dinukilkan : “Pada kuda-kuda rumah Batak
asli, dipacakkan batu barani
dan dikuping Kuda Dewata"
(Batara Sangti 1977: 278).
Kita
tidak mengetahui kapan "tonggo-tonggo Siboru Deakparujar" itu tercipta
atau diciptakan. Yang kita ketahui ialah bahwa Siboru Deakparujar adalah
tokoh mitologi dalam kebudayaan Toba. Menurut mitologi Toba, Siboru
Deakparujar adalah puteri Debata Mulajadi Nabolon, yang dititahkannya
turun dari benua atas ke benua tengah membawa sekepal tanah, untuk
menempa bumi di atas lautan.
Dalam usahanya menempa bumi, Siboru
Deakparujar mendapat gangguan dari Naga Padoha (Raja Padoha), tetapi
akhirnya dia berhasil menyelesaikan tugasnya itu. Kemudian Debata
Mulajadi Nabolon menitahkan Siraja Odap-odap turun ke bumi untuk mnjadi
suami Siboru Deakparujar. Dari perkahwinan Siboru Deakparujar dengan
Siraja Odap-odap, lahirlah seorang putera yang bernama Siraja
Ihatmanusia, dan seorang puteri yang bernama Siboru Ihatmanusia. Kedua
bersaudara tersebut kawin dan kemudian mendapat tiga orang putera.
Masing-masing Siraja Miok-miok, Patundal
Nabegu dan Siraja Lapas-lapas. Dari keturunan Siraja Miok-miok kemudian
hari lahirlah Siraja Batak, yang dipandang sebagai nenek moyang orang
Batak.
Menurut
Batara Sangti, tonggo-tonggo ialah doa yang disusun secara puitis dan
diucapkan waktu sajian besar dan kecil. (Batara Sangti 1977 : 270).
Dalam tonggo-tonggo Siboru Deakparujar jelas disebutkan bahwa "tanah
bakil Mandailing tanah yang termasyhur, bagaikan suara gung yang merdu
(suara gong yang merdu biasanya menarik perhatian dan dapat didengar
sampai ke tempat yang jauh - penulis). Dari situlah (dari tanah
Mandailing - penulis) jalan ke atas, perturunan (tempat turun - penulis)
dari Empu kita: Debata Nan Tiga, Nan Tiga Segi, Nan Empat Kerajaan, ke
benua tengah (ke bumi - penulis) ini" (Batara Sangti 1977 : 277).
Berdasarkan
tonggo-tonggo (doa) tersebut, jelaslah bahwa sejak zaman dahulu kala
(sejak adanya tokoh mitologi Siboru Deakparujar), orang Toba (Batak)
telah mengakui kemasyhuran tanah Mandailing. Lebih penting dari itu,
tonggo-tonggo Siboru Deakparujar dengan jelas menyebutkan pula bahwa
tanah Mandailing merupakan tempat tangga jalan ke atas (kayangan), dan
menjadi tempat turun Dewa (Debata Nan Tiga) ke benua tengah (bumi) ini.
Selanjutnya
tonggo-tonggo tersebut menyatakan pula bahwa "di situlah" (di tanah
Mandailing) bertamasya Siboru Deakparujar. Dengan demikian dapat
ditapsirkan bahwa kemungkinan sekali justru di tanah Mandailing itu
pulalah Siboru Deakparujar turun dari kayangan. Sebab tonggo-tonggonya
menyebutkan "dari situlah (dari tanah Mandailing) tangga jalan ke atas
(kayangan)". Oleh karena itu, tidak tertutup pula kemungkinan bahwa di
tanah Mandailing pulalah Siboru Deakparujar kawin dengan Siraja
Odap-adap. Selanjutnya keturunan mereka lahir dan berkembang di tempat
tersebut. Kemudian dapat dikemukakan hipotesis, bahwa setelah keturunan
Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap berkembang di tanah Mandailing,
generasi selanjutnya dari keturunan mereka, seperti misalnya Siraja
Batak (keturunan generasi ke empat dari Siraja Miok-miok, atau generasi
ke enam dari keturunan Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap) pindah
ke tempat lain meninggalkan tanah Mandailing dan pergi ke tanah Toba.
Kemudian di tempat itu ia berkembang. Dengan kata lain, berdasarkan
penapsiran terhadap tonggo-tonggo Siboru Deakparujar, nenek moyang
Siraja Batak, mulai dari Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-adap sampai
kepada Guru Tantan Debata, yaitu ayah dari Siraja Batak sendiri, setelah
besar kemudian meninggalkan tempat tersebut dan pergi ke tempat lain (tanah Toba).
Demikianlah
hipotesis yang dapat ditarik dari penapsiran atas mitologi Siboru
Deakparujar dan tonggo-tonggonya seperti yang telah diluraikan di atas.
Seperti
yang telah dikemukakan terdahulu, nama Mandailing sudah disebut dalam
kitab Negarakertagama di sekitar pertengahan abad ke 14. Namun demikian,
sampai sekarang belum diperoleh satu kepastianpun tentang asal-usul
nama tersebut. Tetapi ada beberapa pendapat yang pernah dikemukakan
mengenai kemungkinan asal-usul nama Mandailing. Misalnya Dada Meuraxa
menyatakan bahwa nama Mandailing ada yang menduga berasal dari perkataan
"Mande Hilang". Dalam bahasa Minangkabau, perkataan tersebut berarti
"ibu yang hilang". Selanjutnya ia menyatakan pula bahwa ada yang
menyangka nama Mandailing berasal dari perkataan "Mundailing", yang
berarti "Munda yang mengungsi". Dalam hubungan ini disebut bahwa bangsa
Munda di India pada masa yang silam melakukan pengungsian karena mereka
terdesak oleh bangsa Aria. Tentang terdesaknya bangsa Munda oleh bangsa
Aria Prof. Dr. Slametmulyana mengatakan: "Sebelum kedatangan bangsa
Aria, bangsa Munda menduduki India Utara. Karena desakan bangsa Aria,
maka bangsa Munda menyingkir ke selatan. Pendudukan bangsa Aria itu
terjadi di sekitar tahun 1500 sebelum Masehi. Bangsa Munda pindah ke
luar dari daerah India menuju Assam dan Asia Tenggara, setelah terjadi
pendudukan lembah sungai Gangga oleh bangsa Aria dalam keseluruhannya".
(Slamet Mulyana 1964 : 140).
Dalam
perpindahan bangsa Munda dari India Utara ke Asia Tenggara karena
terdesak oleh bangsa Aria, kemungkinan ada sebahagian yang sampai ke
Sumatera. Dan melalui pelabuhan Barus di pantai barat Sumatera mereka
meneruskan perjalannya sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut
sebagai Mandailing, yang berasal dari perkataan "Mundailing" yang
berarti "Munda yang mengungsi" (meninggalkan negeri asalnya), seperi
yang dikemukakan Dada Meuraxa tersebut di atas. (Lihat buku Dada Meuraxa
"Sejarah Kebudayaan Sumatera").
Mengenai
jalan masuk bangsa Munda tersebut dari pantai barat Sumatera, yaitu
pelabuhan Barus, dapat diingat bahwa tempat tersebut beberapa abad
sebelum tahun Masehi memang sudah banyak didatangi berbagai bangsa, dan
menjadi pelabuhan yang sangat terkenal karena kapur barusnya. Dan di
Barus pada masa yang lalu pernah terdapat koloni orang Tamil yang juga
berasal dari India.Dada
Meuraxa menyatakan pula bahwa ada yang menyebut asal nama Mandailing
ialah (perkataan) Mandalay, yaitu nama satu ibu kota di Birma.
Dalam
hubungan ini dapat kita lihat pendapat Drs. T.E. Tarigan dan Emilkam
Tambunan yang menyatakan bahwa "Di Birma Utara terdapat satu kota pusat
peradaban dan pemerintah yang bernama Mandalay yang hampir sama dengan
Mandailing di Tapanuli Selatan" (1974 : 17).Dari
sisi lain kiranya pendapat yang mengatakan nama Mandailing berasal dari
perkataan "Mundailing" (=Munda yang mengungsi) dapat dihubungkan dengan
pendapat yang mengatakan bahwa nama Mandailing berasal dari perkataan
"Mandalay". Barangkali bangsa Munda yang didesak dari negeri mereka di
India tidak langsung pindah ke Sumatera. Tetapi untuk satu kurun waktu
mereka lebih dahulu hidup di daerah Birma atau Mandalay. Dikemudian hari
dari Mandalay baru mereka pindah ke Sumatera, dan memasuki daerah
Mandailing melalui jalan seperti yang dikemukakan di atas.
Proses
perpindahan orang Munda dari Mandalay ke Sumatera (Mandailing) dapat
pula dihubungkan dengan terjadinya perpindahan bangsa-bangsa dari Asia
Selatan atau India Belakang ke wilayah Indonesia di masa lebih dari 1000
tahun sebelum Masehi. Menurut Mangaradja Onggang Parlindungan dalam
bukunya yang berjudul "Tuanku Rao", perpindahan itu terjadi karena
desakan bangsa Mongol dari utara. Ia mengatakan bahwa ada orang-orang
dari Birma Selatan yang berlayar ke Indonesia dan sebahagian tiba di
Sumatera.
Kemungkinan
dalam proses perpindahan yang demikian itu, orang-orang Munda dari
India yang pada mulanya berdiam di Mandalay (Birma Utara) karena
terdesak oleh bangsa Mongol pindah ke Birma Selatan, dan karena terdesak
terus merekapun berlayar ke Indonesia dan sebagian tiba di Sumatera dan
menempati satu daerah yang kemudian dikenal sebagai daerah Mandailing.
Sekarang
marilah kita lihat pula pendapat Mangaraja Lelo Lubis tentang asal-usul
nama Mandailing, seperti yang dikemukakannya di dalam bukunya "Sopo
Godang" dan Silipi Mandailing".
Di
dalam buku tersebut dikemukakan oleh Mangaraja Lelo Lubis bahwa menurut
cerita orang-orang tua, nama Mandailing berasal dari perkataan ”Mandala
Holing”. Pada masa yang lalu ”Mandala Holing” adalah satu kerajaan yang
meliputi daerah mulai dari Portibi di Padang Lawas sampai ke Pidoli di
Mandailing (dekat Panyabungan yang sekarang). Pada mulanya pusat
kerajaan tersebut terletak di Portibi, tempat ditemukan banyak
candi=candi purba. Karena desakan Majapahit, maka kemudian dikenal
sebagai Pidoli, yang letaknya tidak jauh dari Panyabungan: Pada masa
yang lalu di Pidoli terdapat juga candi-candi. Sisa=sisanya antara lain
terletak di satu tempat yang bernama ”Saba Biara”, di sekitar Pidoli.Dalam
hubungan ini dapat diingat bahwa candi-candi yang di Portibi, dinamakan
orang juga ”candi biara atau biaro”. Perkataan biara itu kemungkinan
sekali berasal dari ”vihara” yang berarti tempat peribadatan bagi agama
Budha.
Kemungkinan
adanya di masa yang lalu kerajaan yang bernama "Mandala Holing" di
Tapanuli Selatan seperti yang dikemukakan oleh Mangaraja Lelo itu, dapat
dihubungkan dengan ekspansi Majapahit untuk menguasai daerah atau
kemungkinan kerajaan yang disebut dalam kitab Negarakertagama sebagai
"Mandahiling". Kalau kerajaan "Mandala Holing" itu dihubungkan dengan
candi-candi di Portibi, kiranya perlu diingat bahwa ada peneliti yang
menyebut bahwa candi-candi tersebut dibangun sejak abad ke 10. Dan ada
pula yang menyebutnya pada abad yang ke 11. Malahan ada pula yang
menyebutnya pembangunan candi-candi tersebut dimulai abad ke 5. Sampai
sekarang memang belum ada kepastian tentang masa pembangunan candi-candi
di Portibi tersebut.
Kalau
kerajaan "Mandala Holing" itu adalah identik dengan daerah atau
kerajaan Mandahiling yang disebut dalam kitab Negarakertagama, maka
dapat dicatat bahwa ekspansi Majapahit terhadap kerajaan itu terjadi di
sekitar pertengahan abad ke 14.
Perkataan
"Holing" ada disebut-sebut di dalam masyarakat Mandailing hingga
sekarang. Perkataan tersebut dihubungkan dengan perkataan "Surat
Tumbago". Tetapi belum ada keterangan yang memadai apa yang dimaksudkan
dengan "Surat Tumbago Holing" itu. Menurut keterangan Mangaraja Lelo
Lubis kepada penulis, "Surat Tumbago Holing" ialah surat yang dibuat
oleh Sang Hiyang Dipertuan Huta Siantar dengan Belanda. Kalau memang
itulah yang dimaksudkan dengan "Surat Tumbago Holing", berarti surat
tersebut baru lahir pada abad ke 19. Karena pada abad itulah Belanda
memasuki daerah Mandailing. Penggunaan nama "Surat Tumbago Holing" untuk
surat perjanjian yang dibuat oleh Sang Hiyang Dipertuan Huta Siantar
dengan Belanda di abad yang lalu, barangkali didasarkan oleh Sang Hiyang
Dipertuan atas asosiasinya terhadap "Surat Tumbago Holing" yang mungkin
pernah dibuat pada masa kerajaan "Mandala Holing" yang banyak
disebut-sebut di tengah masyarakat Mandailing.
Masih
ada keterangan lain yang dikemukakan oleh Mangaraja Lelo Lubis tentang
asal usul nama Mandailing. Yaitu bahwa nama Mandailing berasal dari
perkataan "Mandala Hilang". Dalam hal ini dijelaskan bahwa pada suatu
masa orang-orang Mandala yakni orang-orang "koling" (keling) mendiami
wilayah Mandailing. Pada waktu bangsa Melayu memasuki daerah tersebut,
orang-orang Mandala (koling=keling) pergi ke tempat lain. Oleh karena
itu orang-orang Melayu mengatakan "Mandala Hilang". Dan lama kelamaan
sebutan itu berubah menjadi "Mandailing".Dengan
adanya pendapat yang demikian ini, kita terdorong untuk berpikir,
apakah tidak mungkin bahwa yang dimaksud dengan orang-orang Mandala
(koling) itu adalah orang-orang yang pada masa dahulu kala datang dari
Mandalay (Birma) ke Wilayah Mandailing. Dan orang-orang yang datang dari
Mandalay itu tidak lain dari orang-orang Munda yang pada mulanya
mengungsi dari India ke Birma karena didesak oleh bangsa Aria seperi
yang telah dikemukakan terdahulu dalam tulisan ini. Dalam hubungan ini
nama "Mandala" berdekatan benar dngan nama "Mandalay".
Semua
pikiran itu masih bersifat hipotesis dan masih memerlukan penelitian
yang lebih mendalam. Demikian juga halnya dengan asal-usul nama
Mandailing. Oleh karena itu masaalah ini dapat ditempatkan sebagai
tantangan bagi putera-puteri Mandailing untuk diteliti lebih lanjut.
Mudah-mudahan saja ada di antara mereka yang berminat untuk menelitinya,
sehingga asal-usul nama Mandailing itu tidak tinggal menjadi teka-teki
untuk selamanya.
.
Dipetik dari buku KISAH ASAL- USUL MARGA DI MANDAILING karya Z. Pangaduan Lubis
http://mandailings.weebly.com/
TERKAIT MANDAILING BISA DI LIHAT DI
Komentar
Posting Komentar